Tahun Baru Islam yang jatuh pada tanggal 1 Suro/1 Muharram adalah hari yang dianggap sakral oleh hampir sebagian besar Masyarakat Jawa. Selain dalam ajaran Islam bahwa Islam memiliki 12 bulan dalam satu tahun yang empat bulan di antaranya adalah bulan yang paling dimuliakan oleh Allah SWT atau yang kerap disebut bulan haram, dimana salah satunya adalah Bulan Muharram atau disebut oleh Masyarakat Jawa sebagai Bulan Suro.
Mengutip dalam laman Tirto.id, Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010) berpandangan, faktor terpenting yang menyebabkan bulan Suro dianggap sakral adalah budaya keraton. Ia menulis, bahwa keraton sering mengadakan upacara dan ritual untuk peringatan hari-hari penting tertentu, dan akhirnya terus diwariskan, dilanjutkan dari generasi ke generasi. Dalam konteks malam 1 Suro, seperti dicatat Wahyana Giri dalam Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010), lingkungan Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebenarnya memaknainya sebagai malam yang suci atau bulan penuh rahmat. Pada malam tersebut mereka mendekatkan diri kepada Tuhan dengan membersihkan diri melawan segala godaan hawa nafsu, dengan menjalankan tirakat dan lelaku atau perenungan diri. Salah satunya, selamatan khusus selama satu minggu berturut-turut dan tidak boleh berhenti. Sementara Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia, mencoba menjelaskan mengapa pada akhirnya Malam 1 Suro dimaknai secara menakutkan. Menurutnya, ini adalah imbas dari politik kebudayaan dari Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Pada kurun 1628-1629, Mataram mengalami kekalahan dalam penyerbuannya ke Batavia, yang akhirnya membuat Sultan Agung melakukan evaluasi. Setelah penyerbuan itu pula, pasukan Mataram yang menyerang Batavia telah terbagi ke dalam pelbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di tanah Jawa. Kondisi tersebut akhirnya membuat pasukan Mataram tidak solid. Kemudian, untuk merangkul semua golongan yang terbelah, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.
Dari uraian tersebut bila kita refleksikan dalam budaya Masyarakat Madiun yang merupakan masyarakat yang memiliki keterikatan dan keterkaitan erat dengan epicentrum Kerajaan Islam Jawa di mulai Demak hingga Mataram, hingga menjadi sebuah sub kultur Mataraman jelas sangat dipengaruhi oleh budaya Suroan. Ini menjadi semakin kuat ketika di Madiun lahir berbagai Perguruan Pencak Silat yang salah satu letak filosofinya adalah memaknai Suro/Muharram sebagai Bulan yang Sakral, sehingga semua kegiatan dipusatkan di Bulan Suro sebagai media penyucian diri, media kontemplasi/perenungan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kegiatan-kegiatan Perguruan Pencak Silat mulai dari pengesahan warga/anggota baru, pendadaran, perayaan suro dan kegiatan spiritual lainnya seperti nyekar/ziarah kubur, selamatan, dan lain-lain dilakukan di Bulan Suro/Muharram ini, yang tak jarang melibatkan pergerakan massa yang cukup besar dan massif.
Inilah potensi budaya yang luar biasa, dimana kewajiban semua untuk mencari formula bagaimana mengemasnya sebagai Laku Spiritual, Laku Budaya dan Laku Wisata yang mampu memberikan sumbangan konstruktif bagi Pemerintah dan Masyarakat dan mempunyai efek yang berantai bagi pertumbuhan ekonomi kecil dan ekonomi kreatif lainnya. Kabupaten Madiun memiliki modal untuk itu, dengan telah ditetapkannya Kabupaten Madiun Kampung Pesilat Indonesia pada tanggl 28 Oktober 2018. Tinggal bagaimana kita bersama menguatkan komitmen dan mencari bentuk yang pas yang dapat mewadahi 3 Laku tadi ( Laku Spiritual, Laku Budaya dan Laku Wisata ) yang melibatkan 14 Perguruan Pencak Silat yang ada di Kabupaten Madiun.
Semoga 1 Suro /Muharram 1442 H ini, ditengah situasi Pandemi Covid-19 mampu memberikan perspekstif pandang yang segar yang membawa Kabupaten Madiun Kampung Pesilat Indonesia menjadi Ikon yang mendunia.
Selamat Tahun Baru 1 Suro/Muharram 1442 H. @SB